SUARAPOST.ID – Dinasti politik saat ini menjadi salah satu topik yang hangat dibahas di dunia perpolitikan di Indonesia. Adanya hal tersebut, membuat tim suarapost.id menyajikan definisi dari para ahli mengenai Dinasti Politik dari berbagai sumber.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes) Martien Herna Susanti dalam jurnal berjudul Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia menjelaskan bahwa, dinasti politik dan politik dinasti adalah dua hal yang berbeda.
Menurut Martien, dinasti politik adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya beberapa orang.
Sementara politik dinasti adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu (contohnya keluarga elite) yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
“Dinasti politik merupakan musuh demokrasi karena dalam demokrasi, rakyatlah yang memilih para pemimpinnya,” jelas Dosen Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Unnes itu, sebagaimana dikutip dari artikel NU Online, pada Jum’at (30/8/2024).
Pengajar Ilmu Hukum dan Kebijakan Pendidikan di Georgetown University Law Center Amerika Serikat Jason Synder juga membahas tentang dinasti politik dalam jurnalnya yang berjudul Political Dynasties.
Synder mengungkapkan, dinasti politik telah menjadi perhatian di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Ia menyoroti proses pemilihan umum dan kepemimpinan yang sering kali terpengaruh oleh keterlibatan keluarga politik yang berpengaruh.
Menurut Synder, hal itu berpotensi menghalangi akses dan kesempatan bagi individu-individu dari lapisan masyarakat yang lebih luas untuk terlibat dalam politik dengan merintangi proses kaderisasi dan rekrutmen yang adil.
Lantas bagaimana dampak negatif dan penyebab dinasti politik?
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana menjelaskan, dinasti politik dapat dikategorikan sebagai bentuk neopatrimonialisme, yakni ketika kontrol politik dipertahankan melalui jalur keluarga atau hubungan personal yang erat.
Menurut dia, dinasti politik berbeda jauh dengan prinsip demokrasi yang ideal ketika kekuasaan harus dijalankan berdasarkan pada kompetensi dan kehendak rakyat.
“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktik ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet,” jelas Ari Dwipayana, dalam artikel artikel di situsweb MKRI.
Disisi lain, Ari Dwipayana mengungkapkan tiga penyebab yang membuat dinasti politik muncul dalam sebuah negara.
1. Karena adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang kekuasaan.
2. Adanya kelompok terorganisasi karena kesepakatan dan kebersamaan dalam kelompok, sehingga terbentuklah penguasa kelompok dan pengikut kelompok.
3. Adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dengan kekuatan politisi.
Sementara itu di kutip dari sumber lainnya, Seorang Indonesianis dari Yale University, Harry Jindrich Benda, pada tahun 1964 mengutarakan Republik Indonesia tak akan pernah paripurna menjadi negara demokratis karena para elitenya turut membangun budaya politik yang mewarisi tradisi politik feodal dari masa lalu.
Dalam buku Politik Lokal dan Otonomi Daerah (2014), Leo Agustino menjabarkan dinasti politik sebagai “kerajaan politik” yang elite politiknya menempatkan keluarga, saudara, dan kerabatnya di beberapa posisi penting pemerintahan baik lokal ataupun nasional, atau membentuk strategi semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis.
Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/dinasti-politik-definisi-dampak-negatif-dan-penyebabnya-T3prI
Sumber: https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/politik-dinasti-definisi-fenomena-global-yang-mengancam-demokrasi
Editor: (Guslan Kaco)/suarapost.id